Selasa, 21 April 2015

Amanat Tjokroaminoto Kepada Anaknya

Amanat Tjokroaminoto Kepada Anaknya

Anwar TjokroaminotoSuatu hari di tahun 1945, datanglah beberapa orang yang tergolong ‘Ulama ke rumah Anwar Tjokroaminoto (Anak kedua dari H.O.S Tjokroaminoto). Salah seorang diantara mereka itu bertanya : “Adakah almarhum mempunyai peninggalan kepada saudara ?”.
Anwar Tjokroaminoto menjawab : “ Ada, tetapi apa maksud saudara bertanya demikian?”
“Kalau ada, sebenarnya mengherankan kami sebab kami tidak pernah mendengar bahwa almarhum semasa hidupnya ada mempunyai harta kekayaan !”
Memang yang saya maksudkan bukan peninggalan yang berupa harta-benda, tetapi merupakan pesan-pesan. Mula-mula saya sendiri tidak sadar bahwa apa-apa yang dikatakannya itu merupakan pesan-pesan yang berharga. Tetapi beberapa waktu sesudah wafatnya, barulah saya sadar akan hal itu
Para tamu itu hampir semuanya merasa heran, mengapa kalau ada pesan yang ditinggalkan, tidak diketahui oleh orang banyak, lebih-lebih oleh orang-orang yang dekat hubungannya dengan almarhum itu.
Saya sengaja tidak menyatakan kata-kata ayah itu oleh karena sifat pesan-pesan itu tidak umum, hanya merupakan kata-kata seorang ayah dihadapan anaknya
“Tetapi, kalau saya tidak dianggap lancang”, kata salah seorang tamu itu – “ingin juga saya dengar, apa gerangan yang dipesankan kepada saudara itu”.
Ah, pesan atau wasiat almarhum Ayahanda itu sebenarnya terlalu sederhana, tidak berarti untuk orang lain, tetapi besar manfaatnya untuk saya”.
Tamu-tamu itu mendesak juga, dan salah seorang dari mereka berkata : “ Saudara rupanya belum tahu benar, siapa-siapa gerangan anak-anak Tjokroaminoto itu. Kami tahu : Anwar memang anak Tjokroaminoto, Harsono anak Tjokroaminoto, begitu juga saudara-saudara sekandung dari saudara sendiri. Itu anak-anak yang terikat oleh darah. Tapi yang disebut anak-anak Tjokroaminoto itu bukanlah semata-mata anak-anaknya yang terikat oleh darah, bukan semata-mata yang dilahirkan oleh istrinya, tetapi masih ada yang lain. Banyak dari golongan kamu Muslimin yang mengakui Tjokroaminoto sebagai bapaknya, sebagai ayahnya. Mereka inipun juga anak-anak Tjokroaminoto, bukan anak-anak yang terikat oleh darah, tetapi terikat oleh ruh, terikat oleh jiwa !
Kalau ada peninggalan yang merupakan harta-benda, misalnya rumah, sawah, uang dan sebagainya, itu adalah menjadi hak-milik anak-anak yang terikat oleh darah Tjokroaminoto. Tetapi kalau ada peninggalan yang berupa ilmu, yang harus dini’mati manfaatnya oleh Ummat, kalau merupakan nasehat yang harus diamalkan oleh Ummat, peninggalan-peninggalan yang serupa itu bukanlah menjadi hak milik anak-anak yang terikat oleh darah saja, tetapi oleh segenap anak-anaknya yang terikat oleh ruh dengan almarhum Tjokroaminoto itu.
Oleh karena itu, maka betapapun sederhananya pesan atau wasiat itu meskipun nampaknya bersifat dari ayah kepada anak, tidaklah boleh saudara monopoli sendiri, melainkan haruslah saudara berikan kepada saudara Muslimin lainnya, oleh karena Tjokroaminoto itu adalah Bapak Pergerakan Islam. Kalau saudara berikan kepada kami, misalnya, adakah berkurang yang ada pada saudara? Tidak, bukan?
Maka mendengar kata-kata indah, mendengar kata-kata emas dari tamu itu, Anwar Tjokroaminoto lalu menceritakan apa-apa yang dipesankan kepadanya itu.
Sesudah diteliti masak-masak, ternyata bahwa wasiat sederhanya itu dititik beratkan kepada tiga perkara, yakni : (1). Mengenai pengendalian nafsu, (2). Mengenai perkembangan kecerdasan dan (3) Mengenai kehidupan suci bersih.

Pengendalian Nafsu.
Berkali-kali, didalam waktu sakitnya almarhum Tjokroaminoto mengatakan kepada anaknya : “Lereno mangan sa’durunge wareg !” yang artinya : berhentilah makan sebelum kenyang. Perintah ini selalu diulang-ulang, padahal bukan adat kebiasaan sehari-hari beliau memberi perintah kepada anaknya hingga berulang-ulang.
Pesan ini dijalankan. Tentu saja tidak seketika itu atau seketika sesudah wafat almarhum. Tetapi sesudah berlalu rasa sedih-pedih ditinggalkan orang tua. Untung berlalunya kesedihan itupun tidak memakan waktu banyak. Memang tiap-tiap waktu kita mengalami kematian, kesedihan pasti menyelubungi kita. Tetapi kesedihan itu ada saat habisnya.
Cepat atau lambat habisnya kesedihan itu tergantung kepada diri orang yang menderita kesedihan. Bisa dibikin lama, bahkan menyebabkan luka dijantung, bisa pula dibikin singkat dengan kesadaran, bahwa tiap-tiap yang hidup itu mesti mengalami mati.
Pesan ; “Lereno mangan sa’durunge wareg ! atau berhentilah makan sebelum kenyang, dijalankan, mudah nampaknya, tetapi sesungguhnya berat. Tidakkah berat, kalau kita berhenti makan pada waktu lidah kita belum selesai meni’mati kelezatan makanan? Tidakah berat rasanya, berhenti makan, diwaktu perut kita belum benar-benar puas? Padahal makanan lezat masih ada dihadapan kita, dan tidak seorangpun yang akan melarang kita?
Jika pada waktu makan, kita selalu memakai dasar “berhenti sebelum kenyang” dan benar-benar bisa dijalankan, apa yang terlatih oleh karenanya? Bukan perut kita ! Sebab meskipun selalu berhenti makan sebelum kenyang, siperut tetap bisa merasa lapar dan tetap pula bisa merasa kenyang.
Bukan pula lidah kita ! Sebab lidah tetap bisa membeda-bedakan apa yang lezat dan yang tidak lezat.
Yang terlatih itu ialah hati kita. Tiap-tiap manusia mesti mempunyai keinginan didalam hatinya, tetapi keinginan itu bisa dikendalikan, bisa diarahkan kepada jalan yang baik, sehingga menjadi semangat yang membaja.
Latihan “berhenti makan sebelum kenyang” itu pun melindungi hati, dari keinginan serakah, loba dan tamak, dari perbuatan-perbuatan korupsi dan sebagainya, tetapi pun menimbulkan kemauan yang keras, untuk mengendalikan nafsu kita, mendidik kita kepada sabar didalam menghadapi segala malapetaka dan kekuatan hati didalam menghadapi semua bujukan kepada kenikmatan-kenikmatan yang dibisikan orang atau iblis kepada kita.

Perkembangan Kecerdasan
GUNAKANLAH lima menit setiap malam buat membulatkan pikiran !” itulah pesan kedua, yang juga berulang-ulang dikatakan. Walaupun didalam Sholat, kita diharuskan khusu, tak kurang pikiran jarang sekali bisa bulat kepada Allah yang sedang kita sembah.
Membulatkan pikiran itu, bukan melamun. Membulatkan pikiran, ialah mengatur pikiran kita. Banyak orang yang bisa berpikir, tetapi pikirannya itu tidak merupakan daya cipta, tidak merupakan sebab yang menimbulkan akibat. Berpikirnya tidak menimbulkan rencana dalam kenangannya, dan meskipun bisa membentuk rencana, bukanlah rencana yang bisa dikerjakan.
Berpikir adalah mencipta! Itupun bagi orang yang pandai mengatur cara berpikirnya.
Membulatkan pikiran adalah menghimpun segala pikiran kita kepada satu soal, kepada satu tujuan!
Tiap-tiap soal yang harus kita pecahkan, tidaklah mudah pemecahannya itu, jika kita tidak membulatkan pikiran kita kesana. Kita jelajah soal itu, kita pandang soal itu dari segala sudut!
Pun dalam mendalami ilmu. Tidaklah mudah ilmu bisa meresap kepada kita, jika tidak dengan sepenuh-penuhnya pikiran kita mempelajari ilmu itu.
Latihan membulatkan pikiran lima menit tiap-tiap malam itupun tidak semudah persangkaan orang. Bulat-bulat lima menit, acapkali sebelum lewat lima menit itu pikiran sudah terbelokan kelain jurusan. Tetapi jika dibiasakan, pastilah besar manfaatnya, karena kebiasaan membulatkan pikiran itu, memudahkan kita memecahkan sesuatu soal dan memudahkan kita menyelami sesuatu ilmu.
Dengan cara cepat pula, kebiasaan yang demikian itu menyebabkan tumbunya perkembangan kecerdasan kita, menyebabkan kecerdasaan kita bernilai tinggi.

Kehidupan Suci
Pesan ketiga, sebenarnya tidak merupakan pesan, melainkan merupakan pertanyaan yang sukar dijawab, bahkan sebenarnya sampai kinipun tidak terjawab.
Almarhum bertanya berkali-kali : “Bagaimana caranya, supaya bisa bersih sebelum wudhu?”
Bagi orang Islam, tidak bisa Sholat sah, jika tidak didahului dengan mengambil air wudhu, meskipun berwudhu sendiri hukumnya sunnat. Jadi sukarlah kiranya orang bisa mengatakan dirinya sudah bersih (siap) guna melakukan Sholat.
Tetapi bagaimanapun sukarnya pertanyaan tak urung pertanyaan itu tetap menjadi bahan yang ditinggalkan untuk selalu mencari……………….(maaf untuk point ketiga ini tidak dikutip lengkap semuanya)
Mungkin kelak, salah seorang atau lebih dari Ummat Islam yang membaca ini bisa mendapatkannya… Wallahu A’lam.. Mudah-mudahan.

Maka dari mulut-kemulut wasiat sederhana yang diceritakan oleh Anwar Tjokroaminoto itupun mulai tersiar, kendatipun tersiarnya itu tidak begitu luas !
Kini wasiat atau amanat sederhana itu yang mula-mula merupakan amanat seorang ayah kepada anaknya, kini menjadi beberapa rangkaian kalimat pusaka dari almarhum H.O.S. Tjokroaminoto untuk Ummat, menjadi amanat yang tiada mudah dilupakan.

Referensi (Sumber) :
H.O. S. Tjokroaminoto : Hidup dan Perjuangan (jilid ke dua), Amelz, Bulan-Bintang
*Foto : Bapak Anwar Tjokroaminoto, putra kedua H.O.S Tjokroaminoto

Kewajiban Umat Islam Menghadapi Dunia Baru (artikel SM. Kartosuwiryo)

Kewajiban Umat Islam Menghadapi Dunia Baru

Pengantar :

Kuburmu dicari, jejakmu ditelusuri, ajaranmu dikaji, Mujahid tak pernah mati~ S.M. Kartosoewirjo, seorang pejuang yang konsisten dalam mengarungi hidup di empat jaman,  zaman Belanda, zaman Jepang, zaman Kemerdekaan sampai zaman Orde Lama, beliau tetap istiqomah melawan penjajahan, anti penindasan dan membela Islam serta Umat Islam. Kepiawaiannya menapak jejak perjuangan Rosululloh  dan mampu meletakan langkah perjuangannya dalam konteks ke-Indonesia-an. Kesadaran sampai akhir hayatnya tidak lepas dari keyakinan  akan pegangan hidupnya yaitu Tauhid Kholisan Lillah . Berikut ini sebuah tulisan SM Kartosoewirjo yang dimuat di Majalah M.I.A.I yang terbit pada masa zaman Jepang 15 Mei 1943, diusia beliau waktu itu belum genap 40 tahun. Sebuah tulisan yang menjadi bahan perenungan hari ini, akan kewajiban umat Islam untuk tampil di garis depan perubahan, jangan sebagai umat seperti “bangkai yang hidup” atau “sampah dalam masyarakat”. Sebuah kehidupan yang akan dipertanggung jawabkan di akherat kelak.  (Sumber asli bisa di akses disini)

Sejak mula manusia dilahirkan oleh Allah di dunia, maka sejak itu pula tumbuhlah hubungan ikat-mengikat antara dia dengan ‘alam mumkin sekelilingnya. Maka ‘alam itu menjadi sebab dan jembatan, menjadi syarat perjalanan dan lapang hidup, melakukan pelbagai perjuangan menentukan nasibnya, di kelak kemudian hari.
‘Alam syahadah sekeliling manusia dan dirinya pribadi itu, sepanjang faham setengahnya kaum ‘Ulama dan Hukama, dinamakan “dunia”.
“Dunia” yang menjadi syarat hidup dan “dunia” yang menjadi bekal mati.
Syahdan, seorang anak (bayi) lahir di dunia menghadapi ibunya, yang menyusui dan memelihara dia, dengan kasih-sayangnya. Menghadapi ayah, yang mencintai dia dan bertanggung jawab atas didikan dan pelajaran yang harus diberikan kepada anak itu. Ketemu dengan kakek-nenek, paman-bibi dan sanak kerabat lainnya. Wal hasil, sejak itulah ia dihidupkan Allah di tengan-tengah “dunia” kecil, dalam lingkungan keluarga kecil, di kalangan rumah tangga ibu ayahnya.

Jika di anak dipanjangkan umurnya, maka dengan berkat karunia Ilahy dan pemeliharaan ibu-ayah yang mencintainya itu, si bayi makin lama makin besar dan subur daan terpisah dari susu ibunya. Ia dimasukan sekolah, madrasah atau pesantren, menghadapi guru atau kiayi, yang memberi pelajaran dan pendidikan kepadanya sehari-harinya. Dalam pada si anak bersekolah atau “mesantren” itu, dengan karena tabi’at ‘alam yang terkandung dalam dirinya, maka ia perlu kepada ‘alam yang lebih luas dan perlu pula kawan yang lebih banyak. Pada masa itu ia hidup dalam lingkungan “dunia” kanak-kanak, hidup dalam kalangan keluarga yang agak besar.
Selanjutnya, jika ia keluar dari bangku sekolah atau “pesantren”, lepas dari thalab ‘ilmu di berbagai-bagai taman pendidikan dan pelajaran, dan bilamana dengan Kehendak Allah ia mencapai umur dewasa, maka sampailah ia kepada tingkat “baligh” atau “mukallaf”.
Ialah tingkat manusia, yang menuntut pertanggung jawaban atas perjalanan dirinya pribadi dan ‘alam sekelilingnya. Tingkat manusia, yang mendorong dia terjun dalam lingkungan yang keluarga yang besar dan mulai belajar hidup dalam “dunia” pergaulan hidup bersamanya, bertolak dari pelabuhan tempat berteduh dan mengarungi lautan hidup yang amat luas dan dalam itu.
Karena bawaan (chilqah) dirinya, ia perlu hidup bersuami isteri, perlu menghubungkan tali ikatan rumah tangganya dengan rumah tangga lainnya, perlu hidup dalam pergaulan (sosial) dan dalam pencarian rizki (ekonomi). Maka pelajaran hidup yang mula pertama ini menghendaki ketabahan hati, kesabaran, keinsyafan, kebulatan niat dan keuletan bekerja, karena pertanggung jawab yang penuh-penuh atas keselamatan bersama.
Maka keluarga yang lebih besar, yang merupakan masyarakat itu, bertambah hari makin bertambah meluas. Dari rumah tangga sendiri menjadi dukuh dan kampung, dari kampung menjadi desa (Ku), dari desa menjadi Son, Gun, Ken dan Sjuu sampai akhirnya menjadi Djawa Baroe. Maka keluarga se-Djawa Baroe itu pun hanya merupakan salah satu bagian kecil dalam lingkungan keluarga se-Asia Timoer Raya.
Oleh sebab itu, dengan karena kedudukan dan tempat tinggal, dengan karena peredaran zaman dan pembaruan masyarakat, maka mau tidak mau tiap-tiap orang dan tiap-tiap golongan menjadi salah satu anggota dari Keluarga Besar, Keluarga Asia Tomoer Raya.
Bandingkan dengan ajaran Islam, yang termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 213 dan surat Yunus ayat 19 !
Maka karena ikatan Keluarga Besar itu, tiap-tiap bagiannya (yang kecil ataupun yang besar) harus merasa wajib ikut bekerja, membantu dan menyokong dengan sepenuh-penuhnya keyakinan dan kesadaran, dalam usaha mengejar dan mencapai Kema’muran Bersama, dalam lingkungan Asia Timoer Raya. Kema’muran, yang sanggup menyelamatkan 1.000 juta jiwa manusia, dalam tiap-tiap lapisan dan keperluannya.
Apakah gerangan kewajiban kita? Agaknya orang menanya.
Maka jawabnya ialah : kewajiban yang terutama bagi Umat Islam, yang juga menjadi bagian Keluarga Besar itu : ” Menyokong dan membantu usaha dalam mengikhtiarkan tercapainya Kema’muran Bersama, disampingnya dan bersama-sama dengan bagian-bagian Kelurga yang lainnya”.

Tetapi……. sokongan dan bantuan itu tidak “cuma” merupakan cerita yang menggelora atau dongeng yang mendahsyatkan dan mengharukan, dan tidak pula cukup dengan “suara halilintar yang menyambar-nyambar”. Melainkan harus berwujudkan ‘amal yang nyata, ‘amal yang berharga, ‘amal yang hanya diperuntukan bagi keperluan diri pribadi atau golongan sendiri saja. Maka pada prakteknya agak sukarlah membedakan dan memisahkan kedua macam ‘amal itu. Lantaran tidak jarang kita dapat menyaksikan, orang mengejar “keperluan sendiri” dengan berselimutkan “keperluan umum”. Sekarang rupanya bukan lagi waktunya, untuk mempertontonkan “permainan tonil dunia” yang serupa itu, yang hanya mendidik sifat dan tabiat “munafik” semata-mata.

Kiranya baik juga, satu-dua tamsil diketengahkan, unutk membandingkan wujud dan sifatnya ‘amal yang boleh dan yang tidak boleh menjadi sokongan dan bantuan.
Tamsil 1. Si A dan Si B. berkawan, berjalan bersama-sama dan menuju satu maksud yang sama. Si A adalah seorang yang kuat, tangkas dan berani, sedang Si B adalah seorang yang lemah dan malas usaha lagi penakut. Apa akibatnya? Maksudnya mungkin sampai, usaha mungkin putus di tengah jalan, karena sifat B yang menghambat dan mencegah tercapainya maksud itu.
Tamsil 2. Si A ingin bekerja bersama-sama dengan Si B. Tapi si A adalah yang lumpuh, tiada berdaya dan kemauannya pun amat lembek sehingga seumur hidupnya ia cuma menjadi “sampah masyarakat”. Walaupun si B besar himmahnya dan bersungguh-sungguh dalam ‘amal perbuatannya, disertai pula dengan tulus dan setia hati yang penuh, tetapi adanya si A, disamping si B itu tidak pula menambah besar dan pesatnya perjalanan dan mungkin menjauhkan maksud yang dituju.
Maka adanya si A tersebut tidaklah sekali-kali menyokong dan membantu tercapainya maksud, melainkan sebaliknya.
Hatta, maka dengan gambaran ringkas di atas cukuplah kiranya bagi kita, bahwa niat dan usaha Umat Islam untuk memberi sokongan dan bantuan dalam ikhtiar mencapai Kema’muran Bersama, dalam lingkungan Asia Timoer Raya itu, harus dan wajiblah merupakan ‘amal yang berharga dan yang diharapkan oleh tiap-tiap bagian Keluarga Besar itu.
Oleh sebab itu, maka pada hemat kita pada zaman panca-roba ini Umat Islam tidak boleh sekali-kali lemah-hati, putus asa atau mengurangkan usaha. Malah sebaliknya, harus dan wajiblah Umat Islam berdiri tegak teguh di belakang garis peperangan yang dahsyat ini, dan membangunkan suatu “Benteng Islam” yang kuat lagi sentausa, dlohir dan bathinm keluar maupun ke dalam.
Sebab, bila Umat Islam masih juga merupakan “bangkai yang hidup” atau “sampah masyarakat”, atau sesuatu yang tidak tentu bentuk, sifat dan wujudnya, laksana “terapung tak hanyut, terendam tak basah” janganlah diharapkan yang Umat Islam akan memperoleh penghargaan siapa pun juga.

Sekaranglah waktunya Umat Islam menentukan nasibnya buat Hari Kemudian !
“Jika kayu ia timbul, jika batu ia tenggelam !!!”

Cukuplah tidur nyenyak lebih dari 300 tahun lamanya – lebih dari tidur Ashabul Kahfi – dibawah selimut Fir’aun-Belanda,  yang pandai menyanyikan lagu “nina bobo” itu !.
Tumpahkanlah tenaga, fikiran dan harta kita untuk membimbing dan membentuk “Benteng Islam” itu! Satu “Benteng” yang diperdirikan atas dasar ikhlas dan suci hati, dan tersimpan rapat dalam tiap-tiap hati Mu’min dan Muslim! Satu “Benteng” yang mengikat dan mengeratkan tali persaudaraan (musabahah dan ukhuwwah) antara tiap-tiap bagian dan lapisan seluruh penduduk Asia Timoer Raya! Satu “Benteng” yang dibentuk oleh tiap-tiap hamba Allah, yang ingin Muhabbah dan Taqarub kepada Azza wa Djalla semata-mata!.
Jika Umat Islam sudah sadar, insaf dan tahu sungguh-sungguh melakukan kewajibanya dalam Agama, Insya Allah nasib Umat Islam tidak akan memalukan dan memilukan hati, dan akan dapat menjadikan kekuatan dan ‘amal perbuatan  yang berharga dan membentuk “Dunia Baru”, “Dunia Bahagia” yang mengandung “Kema’muran Bersama”.
Tahukah kita, bahwa Dunia yang kita injak dan kita hadapi ini menjadi “Jembatan dan Jalan” menuju “Darul Akhirah” kelak?
Sadarkah kita, bahwa ‘amal yang diperbuat semasa hidup di Dunia akan menjadi “Mizan Nasib” nanti di Yaum al Hisab?
Insafkah kita, bahwa perbuatan kita yang baik (Ihsan) selagi hidup di Dunia menjadi pertanggungan yang istimewa, bagi mencapai Kemuliaan dan Bahagia, bila telah tiba masanya kita dimasukan dalam “Alam di balik Qubur” ?
Yakinkah kita, bahwa Iman yang teguh serta Tauhid yang sentausa dan Islam yang sempurna (‘amal salih) akan merupakan kunci yang membuka pintu Dar-oel Islam dan Dar-oes-Salam, tempat keselamatan dunia dan akhirat?
Percayakah kita, dengan tiada was-was dan sjak sedikitpun juga, bahwa Allah swt, akan mencukupi segenap janji-Nya (Wa’ad dan wa’id), jika kita suka berpegangan teguh dan kuat akan “janji-janji kita kepada Allah” sejak di ‘alam arwah hingga kini?
Kemudian daripada itu, jika kita telah tahu dan mengerti, sadar dan insyaf, yakin dan percaya, bahwa nasib Umat Islam terletak di tanganya Umat Islam sendiri, Insya Allah hati kita akan dilapangkan, dan ‘amal kita akan diluaskan oleh Allah, bagi mensesuaikan diri dengan tuntutan masa dan kehendak zaman, sehingga tumbuhlah Ummat Baru, Ummat Wasath, Ummat yang terpilih, Umat yang sanggup bekerja bagi keselamatan dunia, terutama lingkungan Keluarga Asia Timoer Raya.
Insya Allah, pertegas dan penjelasan dalam hal ini, akan dihidangkan dalam “Soeara Miai” yang lagi akan terbit.
Mudah-mudahan usaha suci yang sebaik itu disertai kurnia dan perkenan Ilahy, hingga manfaat dan mashlahat yang boleh tumbuh daripadanya, meresap dan meliputilah hendaknya segenap Umat Islam dan seluruh tubuhnya Keluarga Besar, Asia Timoer Raya, jua adanya.
Amin.